06 Januari 2009

Pendidikan dan Kekerasan

Oleh : Sunardi*)

Agaknya ada perubahan paradigma dan metode mendidik orang dulu dengan sekarang.
Jika cara orang tua dulu atau para ustad jadul (jaman dulu) yang penuh semangat patriotik dan disiplin diterapkan dalam konteks kekinian, maka barangkali akan mengundang protes dari khalayak.


Ustad ngaji kita dulu dengan membawa kayu sebagai alat tunjuk yang sekaligus berfungsi sebagai alat ‘dera’ mungkin kini tak akan dijumpai lagi. Berganti dengan citra ustad yang memiliki sikap lunak penuh dengan kelembutan.
Namun dalam batas tertentu, tindakan kekerasan agaknya acapkali tetap diperlukan sepanjang berangkat dari tujuan luhur untuk merubah kondisi yang tidak normatif.
Bukankah Nabi saw sendiri pernah mengucapkan, “Perintahkan anakmu salat pada usia 7 tahun dan pukulah mereka jika sampai usia 10 tahun mereka tidak salat dan hendaklah dipisahkan tempat tidurnya”.

Ataupun ilustrasi ungkapan lain Nabi saw,”Sungguh aku ingin membakar rumah orang-orang yang tidak pergi menunaikan salat Jumat”.
Sikap keras atau tegas tepatnya diperlukan seorang pendidik jika pengabaian dari pihak terdidik mencapai klimaks dan secara bertahap telah dilakukan dari tingkat yang paling lunak hingga sikap tegas sebagai bentuk peringatan dan sebagai instrumen/alat pendidikan. Ini alat pendidikan dalam ‘wajahnya’ sebagai sanksi atau punishment/hukuman.

Dan dalam wajahnya sebagai bentuk penghargaan adalah berupa pujian, sikap simpatik memberi penguatan (reinforcement) serta pemberian hadiah. Keduanya hendaknya ditampilkan dalam konteks yang berbeda. Ini misalnya digambarkan dalam ungkapan hadits Nabi saw,”Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencintai”. Ataupun “Bukan golongan kami, orang yang tidak memuliakan orang yang (lebih) tua dan tidak sayang kepada yang (lebih) muda”. Dan juga “Tidaklah orang yang memuliakan wanita kecuali orang yang mulia dan tidak orang yang merendahkan wanita kecuali orang yang rendah (budi pekertinya)”.

Pewarisan dan Pengembangan
Adalah Imam Syafii, ulama Islam klasik yang mengatakan, ”Memelihara nilai-nilai klasik yang baik. Dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik” merupakan prinsip yang perlu ditampilkan dalam menyikapi dunia dan kehidupan yang senantiasa berubah cepat. Inovasi sesuatu yang harus ditumbuhkan tanpa melupakan dan tercerabut dari tradisi lama yang positif.

Kedisiplinan mungkin termasuk nilai-nilai lama yang perlu dilestarikan dalam pendidikan. Namun bentuk kedisplinan yang lebih produktif, berdasarkan semangat kesadaran dan cinta, tentu merupakan hal yang kita pilih. Gerakan penyadaran (menumbuhkan kesadaran dari dalam pelaku ) memang lebih diperlukan ketimbang disiplin mati yang dipaksakan. Namun problemnya bagi peserta didik dalam usia yang masih dini sangat diperlukan bentuk-bentuk pelaksanaan kewajiban yang bersifat ijbari (pemaksaan) untuk menjadi kebiasaan-kebiasaan positif yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidupnya kelak. Karena kebiasaan akan membentuk watak dan karakter seseorang. The habit is the second nature (kebiasaan, merupakan alam kedua).

Terkait dengan disiplin, ada penulusuran seorang Saefudin Simon, jurnalis, bahwa di Jepang pewarisan nilai-nilai lama mengalami perubahan. Jika kaum tua mengenal budaya hara-kiri (budaya membunuh diri karena melakukan dosa sosial/merugikan orang banyak), maka budaya tersebut tidak membudaya lagi di kalangan generasi mudanya, namun berganti menjadi budaya mengundurkan diri (sebagai pejabat publik misalnya) ketika yang bersangkutan melakukan dosa sosial dan tidak melakukan hara-kiri sebagaimana di kalangan generasi tua Jepang (budaya malu untuk kemudian mengundurkan diri dari jabatannya belum membudaya di kalangan pejabat publik di negeri ini, sementara di dunia pendidikan misalnya Rektor UMY mengundurkan diri bertanggung jawab atas tertipunya civitas academica oleh pihak lain menyangkut proyek “blue energy”).

Pendidikan Cermin Masyarakat
Pendidikan cermin bagi suatu masyarakat. Pendidikan maju, dinamis, penuh inovasi menunjukkan masyarakat dan bangsa yang maju dan juga inovatif. Disiplin salah satu parameter bagi pendidikan di manapun terutama di negara maju.
Maka wajarlah jika para stakeholder pendidikan akan lebih memilih sekolah-sekolah yang menerapkan disiplin ekstra di lingkungannya.

Sanksi yang tegas yang memberi efek jera bagi pelaku pelanggaran tata aturan sekolah, mengeluarkan dari sekolah karena terlibat tawuran dengan siswa sekolah lain karena termasuk kategori pelanggaran berat misalnya (yang sosialisasi aturan tersebut disampaikan pada awal kontrak belajar sebagai siswa ) dan sebagainya.

Namun perploncoan terhadap junior oleh senior seperti yang dilakukan praja IPDN (sekarang STPDN), meski dengan dalih disiplin, tentu merupakan sesuatu yang sangat disayangkan. Karena tindak kekerasan yang dialami obyek kekerasan akan menjadi lingkaran setan yang tak akan berujung. Kekerasan akan melahirkan kekerasan baru. Sikap penghargaan secara positif dan anti kekerasan hendaknya lebih dikedepankan dalam praktik pendidikan. Sebab pendidikan yang demokratis, sikap penghargaan para pendidik terhadap peserta didik sebagai seorang manusia yang harus dihargai hak dan martabatnya, tentu akan melahirkan proses pendidikan yang akan memunculkan potensi-potensi kemanusiaan yang berkembang secara maksimal.

Ada pepatah populer di kalangan para pendidik di Inggris,”You can bring a horse to a river but you can’t force it to drink”. (Kamu dapat membawa seekor kuda menuju sungai tetapi kamu tidak dapat memaksanya untuk minum).
Karena kuda akan meminumnya atau tidak, sangat bergantung kepada kondisi apakah kuda tersebut merasa haus atau tidak.

Dan pendidik yang baik adalah orang yang menumbuhkan kesadaran peserta didik akan pentingnya kebutuhan-kebutuhannya sendiri tanpa mengabaikan kebutuhan-kebutuhan orang lain terhadap obyek yang sama.

Sebagai orang yang lebih (dulu) dewasa yang akan menghantarkan peserta didik kepada kedewasaan berperilaku, bersikap dan kesadaran beragama, pendidik tidaklah mesti orang yang telah tua. Karena tua adalah keniscayaan sementara dewasa adalah pilihan. Sebab disadari adanya fakta orang tua yang tidak menyadari akan posisinya sebagai orang yang telah tua (baca: tua-tua keladi, makin tua makin menjadi-jadi). Namun pendidik juga manusia yang memiliki sejumlah kelemahan-kelemahan yang mengintip. Karenanya sikap terbuka dan menerima kritik, sikap mau belajar secara terus-menerus sangat diperlukan menuju pribadi yang mempesona dan penuh kearifan.

Pendidikan demokratis tentu dimungkinkan karena manusia itu memiliki potensi benar, baik dan indah. Dan pendidikan demokratis itu diperlukan karena manusia memiliki sejumlah kelemahan yang perlu dikritisi oleh pihak lain. Dengan pola ini pendidik dan terdidik mungkin tidak dalam posisi permanent, terkadang dapat “bertukar tempat” dalam batas-batas tertentu. Guru harus rela mengakui kelebihan sang murid dan belajar dalam hal tertentu. Karenanya sikap terbuka dan kearifan untuk selalu mendengar jalan menuju kebenaran, kebaikan dan keindahan budi pekerti. “Orang-orang yang senantiasa mendengarkan perkataan dan mengikuti mana yang terbaik (di antara pilihan-pilihan yang ada). Mereka itulah orang-rang yang telah Allah beri petunjuk/hidayah dan mereka itulah orang-orang yang menggunakan akal budinya”. (QS. Az-Zumar/39 : 18).

Berteladan Kepada Habil
Terkait dengan kekerasan, ada contoh bagus. Adalah Jawdat Said (ulama Suriah) pada 1965, sempat menjadi bahan tertawaan para aktivis Islam ekstrim yang sedang bergairah untuk mati syahid dengan angkat senjata. Alkisah di suatu masjid di Mesir, dia memaklumatkan perlunya dakwah dan aktivisme Islam mengadopsi mazhab nirkekerasan (anti kekerasan) ala anak Adam: Habil. Itulah yang ia harapkan menjadi arah pergerakan Islam yang ia geluti. Sebagai simpatisan Ikhwanul Muslimin sewaktu belajar di Al-Azhar Mesir, ia tak tahan melihat siklus kekerasan yang menjurus ke arah lingkaran setan yang tak berujung.

Pasalnya, di tahun 1966, kebanyakan aktivis Islam bersorak gembira dengan tragedi pembunuhan an-Naqrasyi oleh kelompok Islam bersenjata. Tapi Said tidak hanyut dalam eforia lenyapnya Perdana Menteri Mesir yang difatwa sebagai “musuh Islam” itu. Ia justru melihat tragedi itu sebagai pembunuhan tidak berdasar, aksi kriminal, awal malapetaka dan mata rantai kekerasan dalam aktivisme Islam. Baginya, kekerasan hanya akan memunculkan kekerasan lanjutan.

Benar saja, dua bulan setelah itu, pemimpin Ikhwanul Muslimin, Hassan al-Banna, yang justru terbunuh secara misterius. Para aktivis Islam yang menjadi ‘pemujanya’, kini balik berduka dan menyumpah. Selanjutnya, berbagai bentuk kekerasan kembali muncul. Dari situlah Said terinspirasi untuk membukukan gagasannya tentang doktrin nirkekerasan (alla ‘unf), terutama karena khawatir efek Mesir merambat ke negeri asalnya, Suriah.

Tapi darimana fondasi prinsip ‘nirkekerasan’ itu dilandaskan? Berkat hafal Quran, Said segera teringat kisah pembunuhan manusia pertama dalam sejarah umat manusia, yaitu kisah Qabil dan Habil. Uniknya, al-Quran mengisahkan, ketika hendak dibunuh, Habil justru tidak melawan dan pasrah-menyerah. Dalam surat al-Maidah ayat 28, Habil mengatakan,”Jika engkau ayunkan tanganmu untuk membunuhku, aku tetap tidak akan mengayunkan tangan untuk membunuhmu. Aku takut akan Tuhan, penguasa semesta alam”.

Menurut Said, kisah Qabil dan Habil itu memberi makna yang dalam. Pertama, ada aspek kepasrahan total kepada Tuhan. Kedua, ada kemampuan untuk berkorban dengan jiwa sekalipun agar orang lain menemukan jalan kebenaran. Ketiga, teladan bagaimana memutus siklus kekerasan. Itu menjadi pelajaran teramat penting bagi Said. Karena itu ia berharap mazhab nirkekerasan juga menjadi bagian dari prinsip yang dianut aktivis Islam (juga pendidik, pen) yang ketika itu sedang bergelora mengobarkan perlawanan bersenjata.

Tak hanya dari al-Quran, dari sejarah para nabi pun Said mencari teladan. Ia pun terjumpa, beberapa Nabi justru menghabiskan hidup untuk berdakwah, tapi tak kunjung mendapat sambutan massa. Kebanyakan bahkan tidak sempat berkuasa agar dapat memaksakan risalah Ilahi yang mereka emban. Nabi Nuh dan Isa al-Masih contohnya. Sebagian Nabi dan manusia agung lainnya mati terbunuh, tapi ajaran-ajaran mereka tidak menyusul ke alam baka. Said lalu membuat kesimpulan: kalau begitu kebaikan akan tetap hidup, ia akan menang dengan sendirinya, walau tanpa dipaksa-paksa. Said yakin, kebenaran akan mencari jalannya sendiri untuk menang. (Novriantoni, dalam Profil Jawdat Said; “Islam Yang Menghidupkan, Bukan Mematikan”, 2008 : 1-2)

Bahkan, bagi Said, konsep syirik sebagai lawan dari tauhid, dimaknainya sebagai paham ketidaksetaraan antar umat manusia. Dalam paham ketidaksetaraan itu, syariat atau hukum tidak diterapkan terhadap semua orang, namun dilakukan secara tebang pilih. Artinya ada saja sebagian orang yang ditempatkan atau secara faktual menempatkan diri di atas sentuhan hukum seperti banyak dipraktekkan para tiran sampai abad modern ini.
Tauhid dimaknainya sebagai konsep yang mengandung spirit pembebasan dan ikrar kesetaraan antar umat manusia di hadapan Tuhan (al-musawat baina al-basyar). Terbukti bahwa kaum musyrik Quaisy bukan tidak mengakui pencipta alam semesta yakni Allah, namun mereka tidak kunjung paham kosekuensi dari pengakuan bahwa Tuhan saja sesungguhnya Sang Penguasa. Mereka tidak mengerti bahwa jika hanya Tuhan yang unggul, maka semua manusia setara di hadapan hukum. Nabi yang berjanji akan menerapkan hukum tanpa pandang bulu terhadap anaknya Fatimah, juga akan menerapkan hukum yang seadil-adilnya terhadap selain Fatimah. Namun gagasan ini rupanya terlampau modern ditangkap pada zamannya, bahkan untuk zaman sekarangpun. Karena masih banyak praktek ketidakadilan di dunia ini, tanpa terkecuali di dunia pendidikan. Belum adanya BOP (Bantuan Operasional Pendidikan) di sekolah-sekolah swasta (hanya ada di sekolah negeri), masih timpangnya kesejahteraan guru swasta dan PNS (apalagi guru TPA dan Madrasah, harus diakui penghargaan publik terhadap guru privat Fisika/Matematika dengan guru ngaji bagai bumi dan langit). Inilah salah satu ironi di negeri ini. Wallahu a’lam bish-shawab.

Cirebon, 18 Desember 2008

*) Penulis, penggiat Santun Institut dan staf pengajar di SDN Sidamulya-Kota Cirebon

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda